Sabtu, 28 April 2012

Makalah Pemikiran Dalam Islam "Khawarij"




ALIRAN KHAWARIJ

Dipersentasekan Pada Mata Kuliah
Pemikiran Dalam Islam

Dosen Pengampu
Prof. Dr. H. Najamuddin Rauf, MA



 





O l e h

Abdul Rahman Tha’at
NIM. P.p. 210. 1. 1268


 PROGRAM PASCA SARJANA
IAIN SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
TAHUN  2 0 1 1



ALIRAN KHAWARIJ
Oleh: Abdul Rahman Tha’at [1]

      A.    Pendahuluan
Kepercayaan atau keyakinan adalah inti dari agama. Terlebih menurut ruang lingkup Islam khususnya persoalan-persoalan yang berkenaan kepercayaan dan keyakinan ini merupakan hal yang sangat urgensi, tidak saja karena masalah tersebut berkenaan dengan esensi dan ekstensi Islam sebagai suatu agama, tetapi juga karena pembicaraan mengenai konsep kepercayaan dan keyakinan menandai titik awal dari suatu pemikiran dalam islam dan Teologi diantara orang-orang Islam terdahulu.
Dengan menekankan kepentingan sejarah masalah kepercayaan atau keyakinan (iman). Seorang tokoh Teolog yang bernama Ibnu Thaimiyah menyatakan bahwa perselisihan atas dua makna,  kata tersebut merupakan perselisihan intern pertama yang terjadi diantara orang-orng Islam, karena masalah inilah maka masyarakat muslim terpecah kebeberapa sekte atau golongan. Adapun perbedaan dalam menafsirkan kitb suci dan sunnah sehingga satu sama lain menyebut dengan sebutan “kafir’ dan yang mula-mula kegolongan ini adalah kelompok orang-orang yang keluar yang dikenal orang sebagai hari kharijiyah atau khawarij.[2]
Orang-orang Khawarij terdahulu sebenarnya bukanlah para teroris mereka tidak mengangkat permasalahan nereka secara abstrak (in abstracto) semua konsep kunci yang diambil dan dibicarakan oleh mereka dimaksud untuk dikembangkan cepat tau lambat mejadi debuah sifat teologi skolastik, tetapi mereka sendiri tidak bicarakan masalah ini dengan tingkat yang sepenuhnya teoritik. Aebaliknya, konsep-konsep itu berkaitan erat dengan situasi politik pada masa itu. Dari persoalan tersebut memiliki dua sisi yaitu politik dan teologi.
Menurut Harun Nasution bahwa agak aneh kalau dikatakan bahwa, persoalan yang pertama-tama timbul adalah dalam bidang politik dan bukan dalam bidang teologi.[3] Namun dalam karyanya yang berjudul “Islam Rasional” menyatakan bahwa paham dan tingkah laku khawarij yang merupakan salah satu aliran dalam ilmu tauhid atau teologi Islam. Kaum Khawarij terkenal dalam sejarah teologi islam sebagai golongan yang sempit pandangannya dn tak segan-segan menggunakan kekerasan dalam mengmalkan (menyebarkan) keyakinan mereka.[4]

Golongan Khawarij yang mengeluarkan pernyataan-pernyataan berbau teologis, yang memandang bahwa Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa Al-Ay’ari dan orang-orang yang menerima arbitrase adalah kafir karena Al-Qur’an telah mengatakan dalam surat al-Maidah ayat 44 :

ومنَ لَمْ يَحْكُم بِماَ أ نْزَلَ اللهُ فَأُولـئِك هم الكافرونَ

Artinya:  barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. [5]

Pernyataan-pernyataan kafir yang mereka kemukakan itu sudah bukan lagi persoalan politik akan tetapi persoalan yang dibahas dalam teologi, masalah yang awalnya masalah politik yang akhirnya timbul kepada masalah teologi Islam.

Dari uraian diatas, kita dapat beranjak lebih jauh membahas tentang Khwarij yang berawal dari Sejarah kekholfahan menjelang lahirnya Khawarij, perang Siffin dan Dasar hukim Khawarij.


      B.     Pembahasan
1.      Sejarah Kekholifahan Menjelang Lahirnya Aliran Khawarij
Sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW, kaum muslimin sudah menampakkan indikasi perpecahan, tetapi perpecahan itu bisa reda dengan terpilihnya Abu Bakar sebagai Khalifah. Setelah beberapa lama Abu Bakar memimpin, tampak kembali indikasi perpecahan yang disebarkan oleh orang-orang yang murtad dan para nabi palsu, seperti: Musailamah al-Kadzdzab, Tulaihah, Sajah, al- Aswad an- Ansy. Disamping itu ada pula kelompok-kelompok Islam yang tidak mau membayar zakat. Akan tetapi semua itu dapat diatasi oleh khalifah Abu Bakar Siddiq.
Perjalanan kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin ‘Affan relatif stabil. Pada masa merekalah Islam berhasil meengadakan ekspansi ke Afrika, sebagian umat Islam kurang simpati kepadanya oleh karena kebijakannya yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan umat pada waktu itu. Diantara kelemahan pada waktu itu adalah kurangnya control khalifah kepada bawahannya, sehingga para eksekutif bawahannya tidak bekerja secara maksimal. Disinyalir pula bahwa khalifah agaknya bersikap Nepotisme. Hal tersebut mengundang protes dari kaum muslimin. Sebenarnya bagi orang yang melihatnya secara  jernih, maka setiap khalifah Utsman itu dapat dimaklumi karena memang keluarganya banyak yang pandai. Bagaimanapun, sejarah mencatat hal tersebutlah yang merupakan bagraund yang dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk menggulingkan Khalifah Utsman.
Sepeninggal Utsman maka Ali bin Abi Thalib diangkat sebagai penggantinya menjadi khalifah. Tetapi Ali tidak memperoleh suara dukungan yang bulat. Ada kelompok yang tidak setuju dengan pengangkatannya. Bahkan ada yang terang-terangan menentang pengangkatan tersebut sekaligus menuduh Ali sebagai dalang intelektual di balik terbunuhnya Utsman bin Affan, atau minimal Ali membiarkan komplotan pembunuh itu menjalankan makarnya. Dari kisruh politik inilah pangkat perpecahan umat Islam hingga menjadi beberpa kelompok yang berimplikasi pada perkembangan ilmu kalam. 
 Isu kebijakan khalifah Utsman yang tidak popular itu menjadi hal yang rentan menimbulkan fitnah dan perpecahan di kalangan umat. Akibatnya, khalifah Utsman bin Affan terbunuh oleh amuk massa demonstrans Mesir. Sebenarnya yang dicari oleh Demonstrans adalah Marwan bin Hakam sekrtetaris Utsman yang memerintahkan agar para demonstran dibunuh semua, namun tidak ditemukan karena Marwan telah meninggalkan tempat sebelum demonstran sampai ke Madinah.
Setelah Usman bin Affan menyelesaikan tugas kepemimpinan maka tongkat komando kepemimpinan Islam waktu itu dipegang oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Ali bin Thalib diangkat jadi khalifah pada bulan juni tahun 565 M, melalui pemilihan dan pertemuan terbuka, tetapi dalam kondisi yang kacau, misteri terbunuhnya khlifah Usman belum terungkap, dan ketika itu hanya ada beberapa tokoh senior masyarakat islam di Madinah.
Setelah Ali terpilih sebagai khalifah, dalam pidato pengukuhannya khlaifah Ali menyatakan bahwa Allah telah menurunkan al-Qur’an yang menjelaskan tentang hal-hal yang baik dan meninggalkan yang buruk. Beliau juga menegaskan bahwa perlindungan yang dijamin oleh Allah adalah perlindungan atas umat Islam. Adalah haram hukumnya melukai, merugikan sesama umat islam tanpa alasan yang dibenarkan hukum.[6]
Sejarah mencatat bahwa pengolahan urusan pemerintahan Ali juga selalu mengutamakan tradisi musyawarah sebagaimana pendahulunya, meskipun sudah kurang efektif, sebab telah terjadi friksi-friksi yang tajam dikalangan umat islam, yaitu antara kelompok Umaiyah (pendukung Muawiyah) dan Hasyimiyah (pendukung Ali).
Tidaklah mengherankan jika kemudian diakhir kepemimpnan Ali, sempat terjadi konflik-konflik , seperti perang Jamal (onta) antara Ali dan Aisyah, perang siffin antara Ali dan Muawiyah yang membelot sehingga terjadi tahkim (masing-masing pihak memilih hakim) pada tahun 34 H untuk mengatasi konflik tersebut. Akhirnya karena “kelicikan” Amr bin Ash wakil dari kubu Muawwiyah, dalam tahkim tersebut putuskanlah bahwa Ali dihentikan dari jabatan khalifah, dan diangkat lah Muawiyah sebagai pengganti Ali.[7] Sejak itu pula sistem pergantian kepemimpinan berubah dari yang bersifat demokrasi menjadi model pergantian khalifah yang bersifat monarchi atau turun menurun.[8]
Bersamaan dengan itu, kenijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus, Muawiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah, dan Aisyah. Ali bergerak dari Kuffa menuju Damaskus dengan sejumlah tentara besar. Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu’awiyah di Siffin, ini pemberontkan yang kedua datang dari Mu’awiyah, yang menolak meletakkan jabatan, bahkan menempatkan dirinyasetingkt dengan khlifah walau ia hanya sebagai gebernur suriah, yang berakhir dengan perang.[9]  Pertempuran disini yang dikenal dengan nama Perang Siffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrasi), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan timbulnya golongan ketiga, al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali, Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, umat islam terpecah menjadi  tiga kekuatan politik, yaitu Muawiyah, Syiah (pengikut) Ali dan Khawarij (Orang-orang yang keluar dari barisan Ali).[10]
Pemberontakan pertama diawali oleh penarikan bia’at oleh Thalhah dan Zubair, karena alas an bahwa Khalifah Ali tidak memenuhi tuntutan mereka untuk menghukum pembunuh khlaifah Usman. Bahwa  penolakan khlifah ini dissampaikan kepada Siti Aisyah yang merupakan kerabatnya diperjalanan pulang dari Mekkah, yang tidak tahu mengenai kematian khalifah Usman, sementara Thalhah dan zubair dalam perjalanan menuju Bashrah. Siti Aisyah bergabung dengan Thalhah untuk menentang Ali, karena alasan penolakan penolakan Ali menghukum pembunuh Usman,[11] Bisa juga karena alasan pribadi, atau karena hasutan Abdullah bin Zubair. Mu’awiyah turut andil pula dalam pemberontakan ini, tetapi hanya terbatas pada usaha untuk menurunkan kredibiltas khalifah di mata umat Islam, dengan cara menuduh bahwa jangan-jangan khlifah berada dibalik pembunuhan khalifah Usman.
Khalifah Ali telah berusaha untuk menghindari pertumpahan darah dengan mengajukan kompromi, tetapi beliau tidak berhasil smpai akhirnya terjadi pertempuaran anatara khalifah Ali bersama pasukannya dengan Thalhah, Zubair, dan Aisyah bersama pasukannya. Perang ini terjadi pada tahun 36 H. Thalhah dan Zubair terbunuh ketika hendak melarikan diri dan Aisyah dikembalikan ke Madinah. Dan puluhan ribu Islam gugur pada peperangan itu.
Setelah khalifah menyelesaikan pemberontakan Thalhah dan Zubair, pusat kekuasaan Islam dipindahkan ke Kuffah, sehingga Madinah tidak lagi menjdi ibukota kedaulatan islam dan tidak ada seorang khalifah pun setelahnya yang menjadikan Madinah sebagai pusat kekuasaan Islam.
Munculnya sekelompok Khawarij, menurut pendapat yang paling kuat, karena keputusan gencatan senjata ketika terjadi pertentangan tentara pihak Ali dan Mu’awiyah dalam perang siffin. Mua’wiyah dan para pengikutnya meminta kepada Ali agar menyerahkan pengukuhan keputuusan al-Qur’an. Ali merasa ragu untuk menerima usulan itu, karena ia tahu persis kelicikan Mua’wiyah dan ‘Amru bin ‘Ash, yang mempunyai ide mengangkat Mushaf dan bertahkim pada al-Qur’an. Namun sebagian pengikut Ali mengusulkan agar menerima usulan itu. Maka dengan lapang dada ia menerima itu, agar kelompoknya tidak terpecah belah.
Dirawayatkan bahwa al-Asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fadaky at-Tamimy dan Zaid bin Hushain ath-Tha’y berkata kepada Ali ra. “Mereka menyeru kita kepada kitab Allah, sementara engkau menyeru kami untuk mengangkat pedang. Tariklah mundur al-Asytar (komandan pasukan Ali) agar tidak memerangi sesama Islam atau kami akan berbuat kepadamu seperti yang pernah kami perbuat (terhadap Utsman).”
Maka Ali bin Abu Thalib ra memerintahkan al-Asytar untuk menghentikan peperangan, walaupun sebenarnya ia sudah diambang kemenangan.
Kemudian Ali hendak mewakilkan penyelesaian dua keputusan yang saling berbeda di antara pengikutnya mengenai masalah gencatan senjata kepada ibnu Abbas ra. Tapi orang-orang Khawarij tidak mau menerima dengan mengatakan: “Dia termasuk orang-orangmu.”
Akhirnya mereka sepakat mengirimkan Abu Musa al-asy’ari untuk membuat keputusan berdasarkan kitab Allah. Ketika masalah tersebut belum tuntas benar, Ali tidak mau menerima dua keputusan yang ada. Sehingga sebagian diantara para pengikutnya ada yang memisahkan diri seraya berkata, “Mengapa engkau menyerahkan keputusan hokum manusia? Padahal tidak ada keputusan hokum kecuali milik Allah.”
Ali menjawab, “Ucapan yang benar tetapi dimaksudkan untuk sesuatu yang bathil. Mereka menghendaki agar tidak ada pemimpin. Padahal pemimpin harus ada, baik ataupun zhalim.”
Kemudian mereka pergi menuju Harura’ (dekat Kufah) sambil menyatakan diri keluar dari kelompok Ali, Muawiyah dan juga dua kelompok yang saling berbeda serta dari setiap orang, yang mengakui gencatan senjata. Mereka itulah orang-orang Khawarij yang pertama.
Kelompok Khawarij disebut pula Haruriyah karena dinisbatkan kepada Harura’, nama desa yang mereka tempati. Mereka juga dinamakan al- Muhkamah, karena merekalah yang mengatakan: “Tidak ada ketetapan hukum kecuali milik Allah.” Namun mereka menamakan dirinya sendiri dengan sebutan asy-Syurat. Artinya, orang yang menjual atau mengorbankan diri kepada Allah, atas dasar firman Allah swt: dalam surat al-Baqarah ayat 207, yang artinya “Dan di antara manusia ada yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah.” (al-Baqarah: 207).
Dapat kita simpulkan bahwa diantara tokoh Khawarij yang pertama kali keluar dari pasukan Amirul Mukminin, Ali bin abu Thalib, waktu perang siffin adalah :
a.       al-asy’ats bin Qais al-Kindy,
b.      Mas’ud bin Fadaky at-Tamimy dan,
c.       Zaid bin Hushain ath-Tha’y.
Sedang mereka yang memisahkan diri pada waktu gencatan senjata adalah:
a.       Abdullah bin wahb ar- Rasiby,
b.      Urwah bin Jarir,
c.       Yazid bin Ashim al-Muhariby dan,
d.      Harqush bin Zuhair al-Bajly, yang dikenal dengan sebutan “Orang yang mempunyai benjolan.”.
2.      Sejarah Perang Siffin
Setelah Ali berhasil mengalahkan pasukan berunta di Basrah, pasukan melanjutkan perjalanannya ke Kufah. Dari Kufah Ali mengutus Abdullah Al-Bajali untuk menyampaikan pesan agar Muawiyah membatalkan niatnya menentang Ali, dan segera memberikan bai’at kepadanya. Muawiyah menolak utusan Ali dan berpesan agar menyampaikan kepada Ali, bahwa Muawiyah tidak akan membai’at Ali, sebeluim kematian Usman diusut dengan tuntas. Jika Ali tidak mengabulkan permintaan itu, bukan bai’at yang akan diberikan justru Ali akan di peranginya.
Pasukan Ali bin Abi Thalib bermarkas di Kufah maju menuju Nahilah. Raqqah dan selanjutnya menyeberangi sungai Euphrat, akhirnya mereka sampai ke Siffin (sebelah barat sungai Euphrat). Pasukan Muawiyah pun telah keluar dari Syam menuju Siffin. Disana mereka berkumpul, dan waktu itu telah mulai perang kecil-kecilan antara antara kedua golongan itu. Golongan Muawiyah kehabisan air yang nyaris mengakibatkan kekalahan mereka. Kesulitan air bagi bala tentara Muawiyah di ketahui oleh Ali. Sebagai seorang kesatria beliau memberi kesempatan agar pasukan lawan memperoleh air. Pihak Ali meminta, sebelum perang masal dimulai yang merupakan perang sesungguhnya , agar diadakan perang tanding antara Ali binAbi Thalib lawan Muawiyah bin Abi Sufyan. Tawaran ini ditolak oleh Muawiyah, ia mewakilkan kepada Amru bin ‘Ash sebagai lawan Ali bin Abi Thalib. Ali yang terkenal perwiradan gagah berani ia melepaskan tombaknya mengenai perut Amru bin ‘Ash, rupanya tidak menembus perutnya tetapi mengenai ikat penggangnya. Ia jatuh. Ali tidak langsung memenggal lehernya meskipun kesempatannya ada.
Setelah itu perang meluas antara dua pasukan, berkecamuk dengan dahsyatnya selama 40 hari. Pada awal peperangan pasukan Muawiyah dapat menekan pasukan Ali. Setelah itu pasukan Ali mengadakan pembalasan keras dan akhirnya Muawiyah harus menelan kekalahan . Muawiyah mengambil keputusan mundur dan menarik pasukan dengan siasat supaya memasang Ushaf Al-Qur’an diujung tombak. Hal ini merupakan suatu pertanda bahwa mereka meminta damai kenurut kitab Allah. Pada hal ajakan damai itu adalah suatu taktik untuk mengulur waktu bagi mereka yang tidak mengaku kekalahan.
Pada Golongan Ali terdapat dua pendapat. Sebagian ingin melanjutkan tekanan terhadap pasukan Muawiyah sampai mereka menyerah kalah dan sebagian yang lain menginginkan berdamai. Ali sendiri ingin melanjutkan perang karena beliau melihat kemenangan sudah dekat dan ajakan damai itu hanyalah merupakan tipu muslihat belaka dari Muawiyah. Beliau berseru “teruskanlah perang sampai hakmu”.

3.      Dasar Hukum Aliran Khawarij
Konflik politik antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan diakhiri dengan tahkim. Golongan yang menerima arbitrase yang mendapat suara terbanyak dan Ali mengikuti berdasarkan sistem demokrasi islam, dan golongan yang tidak mau tunduk pada keputusan tahkim/arbitrase  tersebut. Mereka keluar dari kelompok Ali dan menuduh Ali sebagai penghianat terhadap perintah Allah SWT, mereka menyebut diri mereka Syurah, yang berasal dari kota Yasyri (menjual), sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 207: “Ada manusia yang menjual dirinya untuk memperoleh ridho Allah”.
Golongan mereka juga dinamakan Hururiah, yang berasal yakni suatu desa yang terletak di dekat Kuffah di Irak, jumlah mereka 12.000 orang dan mereka berkumpul setelah memisahkan dari barisan Ali dan mereka memilih Abdullah bin Wahab al-Rasyidin menjadi imam mereka sebagai pengganti ali bin Abi Thalib. Dalam pertempuran dengan kekuatan Ali mereka mengalami kekalahan besar, tetapi akhirnya seorang khariji bernama Abd Al-Rahman bin Muljam dapat membunuh Ali.[12]
Kaum Khawarij terus menyusun barisan untuk meneruskan perlawanan terhadap kekuasaan Islam, baik dizaman dinasti bani Umayyah maupun di zaman Bani Abbasiyah, pemegang-pemegang kekuasaan pada waktu itu mereka anggap telah menyeleweng dari islam, oleh karena itu harus ditantang dan dipatuhi. Dalam ketatanegaraan mereka yang bersifat demokratis, menurut mereka seorang khalifah harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam, dan yang berhak menjadi khalifah bukan hanya dari suku Qurisy saja, bahkan bukan dari orang arab, tetapi bagi siapa saja yang sanggup memimpin dan berasal dari orang Islam, sekalipun ia adalah seorang hamba sahaya.
Khalifah yang terpilih akan memegang jabatan selama ia bersikap adil dan menjalankan syari’at Islam, tetapi kalau ia menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam ia wajib dijatuhkan hukuman atau dibunuh. Khalifah Abu Bakar dan Umar dapat mereka terima sebagai Khalifah, kedua khalifah ini diangkat dan keduanya tidak menyeleweng dari ajaran islam, sedangkan khalifah Usman mereka anggap telah menyeleweng pada masa kekhalifahannya, dan Ali mereka pandang telah menyeleweng, setelah peristiwa tahkim/arbtrase pada saat pertempuran melawan Mu’awiyah.
Sejak itulah Usman dan Ali bagi mereka telah menjadi kafir, demikian juga hal dengan Muawiyah, Amr bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari serta semua orang mereka yang mengikut mereka dianggapnya telah melanggar ajaran-ajaran Islam. Konsep kafir bagi khawarij telah dipaparkan oleh Toshihiku Izutsihu yang terpatri dari dua konsep kunci islam yakni; Iman ( Islam) dan kufur (Kafir).
Gerakan khawarij menjadi bercabang dua yakni; satu bermaskas di sebuah negeri namanya Bthaih yang menguasai dan mengontrol kaum khawarij yang berada di Persia dan satunya lagi di Kiroman untuk daerah-daerah sekeliling Irak. Sedangkan golongan kedua berada di arab daratan yang menguasai kaum khawarij yang berada di Yaman, Hadhoramaut dan Thaif. Adapun tokoh-tokoh atau pemimpin khawarij adalah Nafi’ bin Azram Khatar bin Faja’ah, Abu Thaluf, Nazdah bin Amir, Abu Fudaika, Urwah bin Khudair, Najdah bin Uwaimir, Mustarid bin Saad, Hautsarah al-asadi, Quraib bin Marrah, Ubaidah bin Basir, Zuber bin Ali, Qotari bin Fuzah, Abu Rabbih.[13]
Dari sekian banyak tokoh-tokoh dan berbagai golongan (sekte) Kharaij maka dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.      Al- Muhakkimah
Golongan HKhawarij asli yang terdiri dari pengikut-pengikut Ali, disebut golongan al-Muhakkimah, bagi mereka Ali, Muawiyah,  kedua pengantara Amr bin Ash dan Abu Musa Al-Asy’ari dan semua orang yang menyetujuai arbitrase bersalah dan menjadi kafir, selanjutnya hokum ini meluaskan artinya sehingga termasuk kedalamnya tiap orang yang berbuat dosa besar.
Mereka yang dalam kelompok ini berkumpul disuatu tempat yang bernama Harura, bagian dari negeri Kuffah, pimpinan mereka Abdullah bin Al-kawa, Utf bin al-A’awar, Abdullah bin Wahab al-Rasiby.[14]
Golongan ini sangat keras, mereka turun temurun kepesar-pesr menghunuskan pedang dan memancung yang dijumpainya, mereka menyerukan semboyan mereka tidak ada hukum selain hukum Allah. Berbuat zina dipandang salah satu perbuatan dosa besar , menurut mereka berbuat zina menjadi kafir dan keluar dari Islam, begitu pula pembunuh sesama manusia tanpa sebab adalah dosa besar, maka perbuatan membunuh  manusia menjadikan sipembunuh keluar dari Islam, dan menjadi kafir. Demikian pula dosa-dosa besar lainnya menjadi kafir.[15]
2.      Al- Azariqah
Al-Azariqah adalah bagian dari golongan khawarij yang dapat menyusun barisan yang baru dan kuat. Daerah kekuasaannya terletak diperbatasan Irak dan Iran, mereka adalah pengikut nafi’ Ibnu al-Azraq dan Amr bin Qatadah. Khalifah yang pertama kali mereka pilih adalhah nafi’ sendiri, dan mereka beri gelar Amir al-Mu’minin[16] orang yang melakukan maksiat adalah kafir, dan mereka tidak mengaku Usman dan Ali.
3.      Al- Najdat
Najdah Ibnu Amir al-Hanafi dari Yamamah dengan pengikut-pengikutnya yang semula menggabungkan diri dengan golonagan al-Zarimah tetapi terjadi perselisihan paham antara keduanya. Sebagian pengikut al-Zarimah tidak menyetujui paham bahwa orang Azram yang tidak mau berhijrah kelingkungan al-Azarimah adalah Musyrik, maka mereka memisahkan diri dari nafi’ dan mereka bersatu dalam memilih Najdat sebagai imam baru.
Najdah berpendapat bahwa orang yangberbuat dosa besar yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka, tetapi pengikutnya jika mengerjakan dosa besar akan mendapat siksaan bukan dalam nerakadan kemudian akan masuk surga.[17]
4.      Al- Ajaridah
Golongan ini juga terpecah menjadi golongan-golongan kecil, yaitu al-maimunah yang mengangkat paham Qadariyah. Bagi mereka semua perbuatan manusia, baik ,buruk, timbul  dan kemauan dan kekuatan manusia sendiri.
Golongan al-Hazimah juga mempunyai paham yang sama tetapi golongan al-Suu’aibiyah dan al-Hazimah manganut paham sebaliknya. Bagi mereka tuhan lah yang menimbulkan perbuatan-perbuatan manusia, manusia tidak bias menolak khendak Allha.[18]
5.      Al-Ibadiah
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat,namanya diambil dari Abdullah bin Ibad. Yang memisahkan diri dari golongan al-azarimah paham meoderat mereka dapat dilihat pendapat orang-orang mereka terhadap orang Islam, yaitu;
a.       Orang islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukanlah musyrik, tetapi kafir. Dengan orangislam yang demikian boleh diadakan hubungan perkawinan dan hubungan warisan, syahadat mereka dapat diterima.
b.      Daerah orang islam yang tidak sepaham dengan mereka, kecuali pemerintah merupakan tauhid daerah mengesakan tuhan, tidak boleh diperangi, yang harus diperangi hanyalah ma’asykar pemerintah.
c.       Orang Islam yang berbuat dosa besar adalah muwahhid, yang menyalahkan tuhan, tetapi bikan mukmin. Kalaupun kafir hanya merupakan kafir an-ni’mah dan bukan kafir al-amillah yang kafir agama dengan kata lain mengerjakan dosa besar tidak membuat orang keluar dari islam. 
6.      Al-Surfiyah
Pimpinan golongan ini adalah Zaid bin al-asfar, paham mereka berdekatan dengan al-azarimah mereka disebut juga golongan yang ekstrim. Mereka berpendapat orang surfiyah yang tidak mau berhijrah tidak dipandang kafir, tidak semua yang berbuat dosa besar menjadi musyrik. Kafir dibagi dua, yakni kafir bin ingkar dan ni’mah (mengingkari rahmat tuhan) dan kafir ingkar ar-Rububiyah (mengingkari tuhan).
Pendapat mereka merupakan yang sangat spesifik adalah taqiah lainnya boleh dalam bentuk perkataan dan tidak dalam bentuk perbuatan demi keamanan perempuan islam boleh kawin dengan laki-laki kafir didaerah bukan islam.[19]

      C.    Kesimpulan

Dari uraian diatas penulis menarik beberapa kesimpulan, melamui analisa yang sesuai dengan cakrawala pemikiran penulis sebagi berikut:

a.       Setelah nabi Muhammad pemerintahan diteruskan Khulafah Ar-Rasyidin islam Islam terus ekspansi deiberbagai belahan dunia, dan bahkan diseluruh penjuru dunia yang berakhir diteruskan oleh berbagai dinasti-diasti.
b.      Perang siffin yang terjadi antara Ali dan Muaiyah menyebabkan timbulnya faham golongan khawarij yang awalnya merupakan persoalan politik, tetap lambat laun berkembang menjadi kajian dan persoalan teologi.
c.       Sebagai faham yang hadir pertama di masyarakat Islam, Khawarij yang bersumber dari kata kharaja atau juga disebut kharijiah.
d.      Khawarij mempunyai cirri-ciri dalam persoalan politik yang seterusnya menjadi persoalan teologi diantara yaitu:
1.      Mudah mengkafirkan orang yang tidak segolongan walaupun orang  tersebut penganut agama islam.
2.      Islam yang sebenarnya adalah islam yang mereka pahami dan mengamalkan islam sebagaimana yang dipahami, dan diamalkan islam lain tidak benar.


DAFTAR  PUSTAKA

Anonim, (1986), Al-Qur’an dan Terjemahannya, Depag. RI Jakarta.
Abudin Nata, (1994), Ilmu Kalam filsafat dan Tasauf, Jakarta:
Abu Zahra Muhammad, (tt), Al-Mazahib Al-Islamiyah, Mesir: Maktabah adab
Abd. Mustaqim dan Muhadi Zainuddin (2008), Studi Kepemimpinan Dalam Islam; Telaah Normatif dan Historis, Semarang: Putra Ledia Press

Ahmad Syalabi, (1990), Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Husna
Amir an- Najjar, (1986), al- Khawarij, Aqidatan, Fikratan wa Falsafatan,cet. 1,  Beirut: Alamul- Kutub, (terj, Kathur Suhardi, 1992, Aqidah, Pemikiran dan Filsafat Khawari, Solo: CV. Pustaka Mantiq

Badri Yatim, (2004), Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II,  Jakarta: PT Raja Grafindo

Dedi Supriyadi, (2008), Sejarah Peradaban Islam, Bandung: CV Pustaka Setia
Harun Nasution, (2002), Teologi Islam Aliran-Aliran Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press

----- , (1995), Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran, Editor Saiful Muzani. Bandung: UI Press

Ibnu Aly Bakar Ahmad As-Syahrastani, Al Milal Wa An Nihal, Libanon Beirut: Dar el Fikr

Munawir Syadzali, (1993), Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press

Sirojuddin Abbas, (1996), Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah
Toshihiku izutsu, (1987), Pemikiran Teologi dan Filsafat, Jakarta.




[1] Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN STS Jambi 2010
[2] Toshihiku Izutsu, Konsep Kepercayaan Dalam Teologi islam Analisis Semantik Iman dan Islam. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994). hal: 1
[3] Harun Nasaution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 2002).hal: 7
[4] Harun Nasution, Islam rasional; Gagasan dan Pemikiran, editor saiful muzani. (Bandung: 1995). hal. 124
[5] Anonim, Al-Qur’an dan Terjemahan, Depag. RI Jakarta. hal. 167
[6] Munawir Syadzali, islam dan Tata Negar; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,(Jakarta. UI Press, 1993).hal: 23
[7] Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakrta: Pustaka Husna, 1990). hal : 304
[8] Abd. Mustaqim dan Muhadi Zanuddin, Studi Kepemimpinan Islam; Telaah Normatif dan Historis, (Semarang: Putra Ledia Press, 2008). hal: 71
[9] Dedy Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008). hal: 97
[10] Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Raja grafindo Persada, 2004). hal: 40
[11] Asy-Syalab. At-Tarkhu Al-Islami Wa Alhadlii atu Al Islamiyah, Ter. Prof.DR. Mukhtar Yahya
[12] Sirojuddin Abbas, Ahlussunnah Wal Jama’ah.( Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1996). Hal:  153-154
[14] Abudin, ilmu Kalam Filsafat dan Tasauf (Jakarta 1994).hal; 31
[15] Op cit,. Harun. 1986, hal. 14
[16] Op cit,. Bakar, hal. 188
[17] Op cit,. Nata. hal. 33
[18] Op cit,. Harun. 1986, hal. 16
[19] Ibid,. hal. 20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar