ALIRAN KHAWARIJ
Dipersentasekan Pada Mata Kuliah
Pemikiran Dalam Islam
Dosen Pengampu
Prof. Dr. H. Najamuddin Rauf, MA
O l e h
Abdul Rahman Tha’at
NIM. P.p. 210. 1. 1268
PROGRAM PASCA SARJANA
IAIN SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
TAHUN
2 0 1 1
ALIRAN
KHAWARIJ
Oleh:
Abdul Rahman Tha’at [1]
A.
Pendahuluan
Kepercayaan atau keyakinan adalah inti dari agama. Terlebih
menurut ruang lingkup Islam khususnya persoalan-persoalan yang berkenaan
kepercayaan dan keyakinan ini merupakan hal yang sangat urgensi, tidak saja
karena masalah tersebut berkenaan dengan esensi dan ekstensi Islam sebagai
suatu agama, tetapi juga karena pembicaraan mengenai konsep kepercayaan dan
keyakinan menandai titik awal dari suatu pemikiran dalam islam dan Teologi
diantara orang-orang Islam terdahulu.
Dengan menekankan kepentingan sejarah masalah
kepercayaan atau keyakinan (iman). Seorang tokoh Teolog yang bernama Ibnu
Thaimiyah menyatakan bahwa perselisihan atas dua makna, kata tersebut merupakan perselisihan intern
pertama yang terjadi diantara orang-orng Islam, karena masalah inilah maka
masyarakat muslim terpecah kebeberapa sekte atau golongan. Adapun perbedaan
dalam menafsirkan kitb suci dan sunnah sehingga satu sama lain menyebut dengan
sebutan “kafir’ dan yang mula-mula kegolongan ini adalah kelompok orang-orang
yang keluar yang dikenal orang sebagai hari kharijiyah atau khawarij.[2]
Orang-orang Khawarij terdahulu sebenarnya bukanlah
para teroris mereka tidak mengangkat permasalahan nereka secara abstrak (in
abstracto) semua konsep kunci yang diambil dan dibicarakan oleh mereka
dimaksud untuk dikembangkan cepat tau lambat mejadi debuah sifat teologi
skolastik, tetapi mereka sendiri tidak bicarakan masalah ini dengan tingkat
yang sepenuhnya teoritik. Aebaliknya, konsep-konsep itu berkaitan erat dengan
situasi politik pada masa itu. Dari persoalan tersebut memiliki dua sisi yaitu politik
dan teologi.
Menurut Harun Nasution bahwa agak aneh kalau
dikatakan bahwa, persoalan yang pertama-tama timbul adalah dalam bidang politik
dan bukan dalam bidang teologi.[3]
Namun dalam karyanya yang berjudul “Islam Rasional” menyatakan bahwa
paham dan tingkah laku khawarij yang merupakan salah satu aliran dalam ilmu
tauhid atau teologi Islam. Kaum Khawarij terkenal dalam sejarah teologi islam
sebagai golongan yang sempit pandangannya dn tak segan-segan menggunakan
kekerasan dalam mengmalkan (menyebarkan) keyakinan mereka.[4]
Golongan Khawarij yang mengeluarkan
pernyataan-pernyataan berbau teologis, yang memandang bahwa Ali, Mu’awiyah, Amr
bin Ash, Abu Musa Al-Ay’ari dan orang-orang yang menerima arbitrase adalah
kafir karena Al-Qur’an telah mengatakan dalam surat al-Maidah ayat 44 :
ومنَ لَمْ يَحْكُم
بِماَ أ نْزَلَ اللهُ فَأُولـئِك هم الكافرونَ
Artinya: barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir. [5]
Pernyataan-pernyataan
kafir yang mereka kemukakan itu sudah bukan lagi persoalan politik akan tetapi
persoalan yang dibahas dalam teologi, masalah yang awalnya masalah politik yang
akhirnya timbul kepada masalah teologi Islam.
Dari uraian
diatas, kita dapat beranjak lebih jauh membahas tentang “Khwarij’ yang berawal dari Sejarah kekholfahan
menjelang lahirnya Khawarij, perang Siffin dan Dasar hukim Khawarij.
B.
Pembahasan
1. Sejarah Kekholifahan Menjelang Lahirnya Aliran
Khawarij
Sejak
wafatnya Nabi Muhammad SAW, kaum muslimin sudah menampakkan indikasi
perpecahan, tetapi perpecahan itu bisa reda dengan terpilihnya Abu Bakar
sebagai Khalifah. Setelah beberapa lama Abu Bakar memimpin, tampak kembali
indikasi perpecahan yang disebarkan oleh orang-orang yang murtad dan para nabi
palsu, seperti: Musailamah al-Kadzdzab, Tulaihah, Sajah, al- Aswad an- Ansy.
Disamping itu ada pula kelompok-kelompok Islam yang tidak mau membayar zakat.
Akan tetapi semua itu dapat diatasi oleh khalifah Abu Bakar Siddiq.
Perjalanan
kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin ‘Affan relatif stabil.
Pada masa merekalah Islam berhasil meengadakan ekspansi ke Afrika, sebagian
umat Islam kurang simpati kepadanya oleh karena kebijakannya yang dianggap
tidak sesuai dengan kebutuhan umat pada waktu itu. Diantara kelemahan pada
waktu itu adalah kurangnya control khalifah kepada bawahannya, sehingga para
eksekutif bawahannya tidak bekerja secara maksimal. Disinyalir pula bahwa
khalifah agaknya bersikap Nepotisme. Hal tersebut mengundang protes dari kaum
muslimin. Sebenarnya bagi orang yang melihatnya secara jernih, maka setiap khalifah Utsman itu dapat
dimaklumi karena memang keluarganya banyak yang pandai. Bagaimanapun, sejarah
mencatat hal tersebutlah yang merupakan bagraund yang dimanfaatkan oleh
kelompok tertentu untuk menggulingkan Khalifah Utsman.
Sepeninggal
Utsman maka Ali bin Abi Thalib diangkat sebagai penggantinya menjadi khalifah.
Tetapi Ali tidak memperoleh suara dukungan yang bulat. Ada kelompok yang tidak setuju dengan
pengangkatannya. Bahkan ada yang terang-terangan menentang pengangkatan
tersebut sekaligus menuduh Ali sebagai dalang intelektual di balik terbunuhnya
Utsman bin Affan, atau minimal Ali membiarkan komplotan pembunuh itu
menjalankan makarnya. Dari kisruh politik inilah pangkat perpecahan umat Islam
hingga menjadi beberpa kelompok yang berimplikasi pada perkembangan ilmu
kalam.
Isu kebijakan khalifah Utsman yang tidak
popular itu menjadi hal yang rentan menimbulkan fitnah dan perpecahan di
kalangan umat. Akibatnya, khalifah Utsman bin Affan terbunuh oleh amuk massa demonstrans Mesir.
Sebenarnya yang dicari oleh Demonstrans adalah Marwan bin Hakam sekrtetaris
Utsman yang memerintahkan agar para demonstran dibunuh semua, namun tidak
ditemukan karena Marwan telah meninggalkan tempat sebelum demonstran sampai ke
Madinah.
Setelah
Usman bin Affan menyelesaikan tugas kepemimpinan maka tongkat komando
kepemimpinan Islam waktu itu dipegang oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Ali
bin Thalib diangkat jadi khalifah pada bulan juni tahun 565 M, melalui
pemilihan dan pertemuan terbuka, tetapi dalam kondisi yang kacau, misteri
terbunuhnya khlifah Usman belum terungkap, dan ketika itu hanya ada beberapa
tokoh senior masyarakat islam di Madinah.
Setelah
Ali terpilih sebagai khalifah, dalam pidato pengukuhannya khlaifah Ali
menyatakan bahwa Allah telah menurunkan al-Qur’an yang menjelaskan tentang
hal-hal yang baik dan meninggalkan yang buruk. Beliau juga menegaskan bahwa
perlindungan yang dijamin oleh Allah adalah perlindungan atas umat Islam.
Adalah haram hukumnya melukai, merugikan sesama umat islam tanpa alasan yang
dibenarkan hukum.[6]
Sejarah
mencatat bahwa pengolahan urusan pemerintahan Ali juga selalu mengutamakan
tradisi musyawarah sebagaimana pendahulunya, meskipun sudah kurang efektif,
sebab telah terjadi friksi-friksi yang tajam dikalangan umat islam, yaitu
antara kelompok Umaiyah (pendukung Muawiyah) dan Hasyimiyah (pendukung Ali).
Tidaklah
mengherankan jika kemudian diakhir kepemimpnan Ali, sempat terjadi
konflik-konflik , seperti perang Jamal (onta) antara Ali dan Aisyah, perang siffin
antara Ali dan Muawiyah yang membelot sehingga terjadi tahkim (masing-masing
pihak memilih hakim) pada tahun 34 H untuk mengatasi konflik tersebut. Akhirnya
karena “kelicikan” Amr bin Ash wakil dari kubu Muawwiyah, dalam tahkim tersebut
putuskanlah bahwa Ali dihentikan dari jabatan khalifah, dan diangkat lah
Muawiyah sebagai pengganti Ali.[7]
Sejak itu pula sistem pergantian kepemimpinan berubah dari yang bersifat
demokrasi menjadi model pergantian khalifah yang bersifat monarchi atau
turun menurun.[8]
Bersamaan
dengan itu, kenijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan timbulnya
perlawanan dari gubernur di Damaskus, Muawiyah, yang didukung oleh sejumlah
bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah
berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah, dan Aisyah. Ali bergerak
dari Kuffa menuju Damaskus dengan sejumlah tentara besar. Pasukannya bertemu
dengan pasukan Mu’awiyah di Siffin, ini pemberontkan yang kedua datang dari
Mu’awiyah, yang menolak meletakkan jabatan, bahkan menempatkan dirinyasetingkt
dengan khlifah walau ia hanya sebagai gebernur suriah, yang berakhir dengan
perang.[9] Pertempuran disini yang dikenal dengan nama
Perang Siffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrasi), tapi tahkim
ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan timbulnya golongan ketiga,
al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali, Akibatnya, di ujung masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib, umat islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Muawiyah, Syiah
(pengikut) Ali dan Khawarij (Orang-orang yang keluar dari barisan Ali).[10]
Pemberontakan
pertama diawali oleh penarikan bia’at oleh Thalhah dan Zubair, karena alas an
bahwa Khalifah Ali tidak memenuhi tuntutan mereka untuk menghukum pembunuh
khlaifah Usman. Bahwa penolakan khlifah
ini dissampaikan kepada Siti Aisyah yang merupakan kerabatnya diperjalanan
pulang dari Mekkah, yang tidak tahu mengenai kematian khalifah Usman, sementara
Thalhah dan zubair dalam perjalanan menuju Bashrah. Siti Aisyah bergabung
dengan Thalhah untuk menentang Ali, karena alasan penolakan penolakan Ali
menghukum pembunuh Usman,[11]
Bisa juga karena alasan pribadi, atau karena hasutan Abdullah bin Zubair.
Mu’awiyah turut andil pula dalam pemberontakan ini, tetapi hanya terbatas pada
usaha untuk menurunkan kredibiltas khalifah di mata umat Islam, dengan cara
menuduh bahwa jangan-jangan khlifah berada dibalik pembunuhan khalifah Usman.
Khalifah
Ali telah berusaha untuk menghindari pertumpahan darah dengan mengajukan
kompromi, tetapi beliau tidak berhasil smpai akhirnya terjadi pertempuaran
anatara khalifah Ali bersama pasukannya dengan Thalhah, Zubair, dan Aisyah
bersama pasukannya. Perang ini terjadi pada tahun 36 H. Thalhah dan Zubair
terbunuh ketika hendak melarikan diri dan Aisyah dikembalikan ke Madinah. Dan
puluhan ribu Islam gugur pada peperangan itu.
Setelah
khalifah menyelesaikan pemberontakan Thalhah dan Zubair, pusat kekuasaan Islam
dipindahkan ke Kuffah, sehingga Madinah tidak lagi menjdi ibukota kedaulatan
islam dan tidak ada seorang khalifah pun setelahnya yang menjadikan Madinah
sebagai pusat kekuasaan Islam.
Munculnya
sekelompok Khawarij, menurut pendapat yang paling kuat, karena keputusan
gencatan senjata ketika terjadi pertentangan tentara pihak Ali dan Mu’awiyah
dalam perang siffin. Mua’wiyah dan para pengikutnya meminta kepada Ali agar
menyerahkan pengukuhan keputuusan al-Qur’an. Ali merasa ragu untuk menerima
usulan itu, karena ia tahu persis kelicikan Mua’wiyah dan ‘Amru bin ‘Ash, yang
mempunyai ide mengangkat Mushaf dan bertahkim pada al-Qur’an. Namun sebagian
pengikut Ali mengusulkan agar menerima usulan itu. Maka dengan lapang dada ia
menerima itu, agar kelompoknya tidak terpecah belah.
Dirawayatkan
bahwa al-Asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fadaky at-Tamimy dan Zaid bin Hushain
ath-Tha’y berkata kepada Ali ra. “Mereka menyeru kita kepada kitab Allah,
sementara engkau menyeru kami untuk mengangkat pedang. Tariklah mundur
al-Asytar (komandan pasukan Ali) agar tidak memerangi sesama Islam atau kami
akan berbuat kepadamu seperti yang pernah kami perbuat (terhadap Utsman).”
Maka
Ali bin Abu Thalib ra memerintahkan al-Asytar untuk menghentikan peperangan,
walaupun sebenarnya ia sudah diambang kemenangan.
Kemudian
Ali hendak mewakilkan penyelesaian dua keputusan yang saling berbeda di antara
pengikutnya mengenai masalah gencatan senjata kepada ibnu Abbas ra. Tapi
orang-orang Khawarij tidak mau menerima dengan mengatakan: “Dia termasuk
orang-orangmu.”
Akhirnya
mereka sepakat mengirimkan Abu Musa al-asy’ari untuk membuat keputusan
berdasarkan kitab Allah. Ketika masalah tersebut belum tuntas benar, Ali tidak
mau menerima dua keputusan yang ada. Sehingga sebagian diantara para
pengikutnya ada yang memisahkan diri seraya berkata, “Mengapa engkau
menyerahkan keputusan hokum manusia? Padahal tidak ada keputusan hokum kecuali
milik Allah.”
Ali
menjawab, “Ucapan yang benar tetapi dimaksudkan untuk sesuatu yang bathil.
Mereka menghendaki agar tidak ada pemimpin. Padahal pemimpin harus ada, baik
ataupun zhalim.”
Kemudian
mereka pergi menuju Harura’ (dekat Kufah) sambil menyatakan diri keluar dari
kelompok Ali, Muawiyah dan juga dua kelompok yang saling berbeda serta dari
setiap orang, yang mengakui gencatan senjata. Mereka itulah orang-orang
Khawarij yang pertama.
Kelompok
Khawarij disebut pula Haruriyah karena dinisbatkan kepada Harura’, nama desa
yang mereka tempati. Mereka juga dinamakan al- Muhkamah, karena merekalah yang
mengatakan: “Tidak ada ketetapan hukum kecuali milik Allah.” Namun mereka
menamakan dirinya sendiri dengan sebutan asy-Syurat. Artinya, orang yang
menjual atau mengorbankan diri kepada Allah, atas dasar firman Allah swt: dalam
surat
al-Baqarah ayat 207, yang artinya “Dan di antara manusia ada yang
mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah.” (al-Baqarah: 207).
Dapat
kita simpulkan bahwa diantara tokoh Khawarij yang pertama kali keluar dari
pasukan Amirul Mukminin, Ali bin abu Thalib, waktu perang siffin adalah :
a. al-asy’ats
bin Qais al-Kindy,
b. Mas’ud
bin Fadaky at-Tamimy dan,
c. Zaid
bin Hushain ath-Tha’y.
Sedang
mereka yang memisahkan diri pada waktu gencatan senjata adalah:
a. Abdullah
bin wahb ar- Rasiby,
b. Urwah
bin Jarir,
c. Yazid
bin Ashim al-Muhariby dan,
d. Harqush
bin Zuhair al-Bajly, yang dikenal dengan sebutan “Orang yang mempunyai
benjolan.”.
2. Sejarah Perang Siffin
Setelah
Ali berhasil mengalahkan pasukan berunta di Basrah, pasukan melanjutkan
perjalanannya ke Kufah. Dari Kufah Ali mengutus Abdullah Al-Bajali untuk
menyampaikan pesan agar Muawiyah membatalkan niatnya menentang Ali, dan segera
memberikan bai’at kepadanya. Muawiyah menolak utusan Ali dan berpesan agar
menyampaikan kepada Ali, bahwa Muawiyah tidak akan membai’at Ali, sebeluim
kematian Usman diusut dengan tuntas. Jika Ali tidak mengabulkan permintaan itu,
bukan bai’at yang akan diberikan justru Ali akan di peranginya.
Pasukan
Ali bin Abi Thalib bermarkas di Kufah maju menuju Nahilah. Raqqah dan
selanjutnya menyeberangi sungai Euphrat, akhirnya mereka sampai ke Siffin
(sebelah barat sungai Euphrat). Pasukan Muawiyah pun telah keluar dari Syam
menuju Siffin. Disana mereka berkumpul, dan waktu itu telah mulai perang
kecil-kecilan antara antara kedua golongan itu. Golongan Muawiyah kehabisan air
yang nyaris mengakibatkan kekalahan mereka. Kesulitan air bagi bala tentara
Muawiyah di ketahui oleh Ali. Sebagai seorang kesatria beliau memberi
kesempatan agar pasukan lawan memperoleh air. Pihak Ali meminta, sebelum perang
masal dimulai yang merupakan perang sesungguhnya , agar diadakan perang tanding
antara Ali binAbi Thalib lawan Muawiyah bin Abi Sufyan. Tawaran ini ditolak
oleh Muawiyah, ia mewakilkan kepada Amru bin ‘Ash sebagai lawan Ali bin Abi
Thalib. Ali yang terkenal perwiradan gagah berani ia melepaskan tombaknya
mengenai perut Amru bin ‘Ash, rupanya tidak menembus perutnya tetapi mengenai
ikat penggangnya. Ia jatuh. Ali tidak langsung memenggal lehernya meskipun
kesempatannya ada.
Setelah
itu perang meluas antara dua pasukan, berkecamuk dengan dahsyatnya selama 40
hari. Pada awal peperangan pasukan Muawiyah dapat menekan pasukan Ali. Setelah
itu pasukan Ali mengadakan pembalasan keras dan akhirnya Muawiyah harus menelan
kekalahan . Muawiyah mengambil keputusan mundur dan menarik pasukan dengan
siasat supaya memasang Ushaf Al-Qur’an diujung tombak. Hal ini merupakan suatu
pertanda bahwa mereka meminta damai kenurut kitab Allah. Pada hal ajakan damai
itu adalah suatu taktik untuk mengulur waktu bagi mereka yang tidak mengaku
kekalahan.
Pada
Golongan Ali terdapat dua pendapat. Sebagian ingin melanjutkan tekanan terhadap
pasukan Muawiyah sampai mereka menyerah kalah dan sebagian yang lain menginginkan
berdamai. Ali sendiri ingin melanjutkan perang karena beliau melihat kemenangan
sudah dekat dan ajakan damai itu hanyalah merupakan tipu muslihat belaka dari
Muawiyah. Beliau berseru “teruskanlah perang sampai hakmu”.
3. Dasar Hukum Aliran Khawarij
Konflik
politik antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan diakhiri
dengan tahkim. Golongan yang menerima arbitrase yang mendapat suara
terbanyak dan Ali mengikuti berdasarkan sistem demokrasi islam, dan golongan
yang tidak mau tunduk pada keputusan tahkim/arbitrase tersebut. Mereka keluar dari kelompok Ali dan
menuduh Ali sebagai penghianat terhadap perintah Allah SWT, mereka menyebut
diri mereka Syurah, yang berasal dari kota Yasyri
(menjual), sebagaimana disebutkan dalam surat
Al-Baqarah ayat 207: “Ada
manusia yang menjual dirinya untuk memperoleh ridho Allah”.
Golongan
mereka juga dinamakan Hururiah, yang berasal yakni suatu desa yang terletak di
dekat Kuffah di Irak, jumlah mereka 12.000 orang dan mereka berkumpul setelah
memisahkan dari barisan Ali dan mereka memilih Abdullah bin Wahab al-Rasyidin
menjadi imam mereka sebagai pengganti ali bin Abi Thalib. Dalam pertempuran
dengan kekuatan Ali mereka mengalami kekalahan besar, tetapi akhirnya seorang
khariji bernama Abd Al-Rahman bin Muljam dapat membunuh Ali.[12]
Kaum
Khawarij terus menyusun barisan untuk meneruskan perlawanan terhadap kekuasaan
Islam, baik dizaman dinasti bani Umayyah maupun di zaman Bani Abbasiyah,
pemegang-pemegang kekuasaan pada waktu itu mereka anggap telah menyeleweng dari
islam, oleh karena itu harus ditantang dan dipatuhi. Dalam ketatanegaraan
mereka yang bersifat demokratis, menurut mereka seorang khalifah harus dipilih
secara bebas oleh seluruh umat Islam, dan yang berhak menjadi khalifah bukan
hanya dari suku Qurisy saja, bahkan bukan dari orang arab, tetapi bagi siapa
saja yang sanggup memimpin dan berasal dari orang Islam, sekalipun ia adalah
seorang hamba sahaya.
Khalifah
yang terpilih akan memegang jabatan selama ia bersikap adil dan menjalankan
syari’at Islam, tetapi kalau ia menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam ia wajib
dijatuhkan hukuman atau dibunuh. Khalifah Abu Bakar dan Umar dapat mereka
terima sebagai Khalifah, kedua khalifah ini diangkat dan keduanya tidak
menyeleweng dari ajaran islam, sedangkan khalifah Usman mereka anggap telah
menyeleweng pada masa kekhalifahannya, dan Ali mereka pandang telah
menyeleweng, setelah peristiwa tahkim/arbtrase pada saat pertempuran melawan
Mu’awiyah.
Sejak
itulah Usman dan Ali bagi mereka telah menjadi kafir, demikian juga hal dengan
Muawiyah, Amr bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari serta semua orang mereka yang
mengikut mereka dianggapnya telah melanggar ajaran-ajaran Islam. Konsep kafir
bagi khawarij telah dipaparkan oleh Toshihiku Izutsihu yang terpatri dari dua
konsep kunci islam yakni; Iman ( Islam) dan kufur (Kafir).
Gerakan
khawarij menjadi bercabang dua yakni; satu bermaskas di sebuah negeri namanya
Bthaih yang menguasai dan mengontrol kaum khawarij yang berada di Persia
dan satunya lagi di Kiroman untuk daerah-daerah sekeliling Irak. Sedangkan
golongan kedua berada di arab daratan yang menguasai kaum khawarij yang berada
di Yaman, Hadhoramaut dan Thaif. Adapun tokoh-tokoh atau pemimpin khawarij
adalah Nafi’ bin Azram Khatar bin Faja’ah, Abu Thaluf, Nazdah bin Amir, Abu
Fudaika, Urwah bin Khudair, Najdah bin Uwaimir, Mustarid bin Saad, Hautsarah
al-asadi, Quraib bin Marrah, Ubaidah bin Basir, Zuber bin Ali, Qotari bin
Fuzah, Abu Rabbih.[13]
Dari
sekian banyak tokoh-tokoh dan berbagai golongan (sekte) Kharaij maka dapat dikemukakan
sebagai berikut:
1. Al-
Muhakkimah
Golongan
HKhawarij asli yang terdiri dari pengikut-pengikut Ali, disebut golongan
al-Muhakkimah, bagi mereka Ali, Muawiyah,
kedua pengantara Amr bin Ash dan Abu Musa Al-Asy’ari dan semua orang
yang menyetujuai arbitrase bersalah dan menjadi kafir, selanjutnya hokum ini
meluaskan artinya sehingga termasuk kedalamnya tiap orang yang berbuat dosa
besar.
Mereka
yang dalam kelompok ini berkumpul disuatu tempat yang bernama Harura, bagian
dari negeri Kuffah, pimpinan mereka Abdullah bin Al-kawa, Utf bin al-A’awar,
Abdullah bin Wahab al-Rasiby.[14]
Golongan
ini sangat keras, mereka turun temurun kepesar-pesr menghunuskan pedang dan
memancung yang dijumpainya, mereka menyerukan semboyan mereka tidak ada
hukum selain hukum Allah. Berbuat zina dipandang salah satu perbuatan dosa
besar , menurut mereka berbuat zina menjadi kafir dan keluar dari Islam, begitu
pula pembunuh sesama manusia tanpa sebab adalah dosa besar, maka perbuatan
membunuh manusia menjadikan sipembunuh
keluar dari Islam, dan menjadi kafir. Demikian pula dosa-dosa besar lainnya
menjadi kafir.[15]
2. Al-
Azariqah
Al-Azariqah
adalah bagian dari golongan khawarij yang dapat menyusun barisan yang baru dan
kuat. Daerah kekuasaannya terletak diperbatasan Irak dan Iran, mereka
adalah pengikut nafi’ Ibnu al-Azraq dan Amr bin Qatadah. Khalifah yang pertama
kali mereka pilih adalhah nafi’ sendiri, dan mereka beri gelar Amir al-Mu’minin[16]
orang yang melakukan maksiat adalah kafir, dan mereka tidak mengaku Usman dan
Ali.
3. Al-
Najdat
Najdah
Ibnu Amir al-Hanafi dari Yamamah dengan pengikut-pengikutnya yang semula
menggabungkan diri dengan golonagan al-Zarimah tetapi terjadi perselisihan
paham antara keduanya. Sebagian pengikut al-Zarimah tidak menyetujui paham
bahwa orang Azram yang tidak mau berhijrah kelingkungan al-Azarimah adalah
Musyrik, maka mereka memisahkan diri dari nafi’ dan mereka bersatu dalam
memilih Najdat sebagai imam baru.
Najdah
berpendapat bahwa orang yangberbuat dosa besar yang menjadi kafir dan kekal
dalam neraka, tetapi pengikutnya jika mengerjakan dosa besar akan mendapat
siksaan bukan dalam nerakadan kemudian akan masuk surga.[17]
4. Al-
Ajaridah
Golongan
ini juga terpecah menjadi golongan-golongan kecil, yaitu al-maimunah yang
mengangkat paham Qadariyah. Bagi mereka semua perbuatan manusia, baik ,buruk,
timbul dan kemauan dan kekuatan manusia
sendiri.
Golongan
al-Hazimah juga mempunyai paham yang sama tetapi golongan al-Suu’aibiyah dan
al-Hazimah manganut paham sebaliknya. Bagi mereka tuhan lah yang menimbulkan
perbuatan-perbuatan manusia, manusia tidak bias menolak khendak Allha.[18]
5. Al-Ibadiah
Golongan
ini merupakan golongan yang paling moderat,namanya diambil dari Abdullah bin
Ibad. Yang memisahkan diri dari golongan al-azarimah paham meoderat mereka
dapat dilihat pendapat orang-orang mereka terhadap orang Islam, yaitu;
a. Orang
islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukanlah musyrik,
tetapi kafir. Dengan orangislam yang demikian boleh diadakan hubungan
perkawinan dan hubungan warisan, syahadat mereka dapat diterima.
b. Daerah
orang islam yang tidak sepaham dengan mereka, kecuali pemerintah merupakan
tauhid daerah mengesakan tuhan, tidak boleh diperangi, yang harus diperangi
hanyalah ma’asykar pemerintah.
c. Orang
Islam yang berbuat dosa besar adalah muwahhid, yang menyalahkan tuhan, tetapi
bikan mukmin. Kalaupun kafir hanya merupakan kafir an-ni’mah dan bukan kafir
al-amillah yang kafir agama dengan kata lain mengerjakan dosa besar tidak
membuat orang keluar dari islam.
6. Al-Surfiyah
Pimpinan
golongan ini adalah Zaid bin al-asfar, paham mereka berdekatan dengan
al-azarimah mereka disebut juga golongan yang ekstrim. Mereka berpendapat orang
surfiyah yang tidak mau berhijrah tidak dipandang kafir, tidak semua yang
berbuat dosa besar menjadi musyrik. Kafir dibagi dua, yakni kafir bin ingkar
dan ni’mah (mengingkari rahmat tuhan) dan kafir ingkar ar-Rububiyah
(mengingkari tuhan).
Pendapat
mereka merupakan yang sangat spesifik adalah taqiah lainnya boleh dalam bentuk
perkataan dan tidak dalam bentuk perbuatan demi keamanan perempuan islam boleh
kawin dengan laki-laki kafir didaerah bukan islam.[19]
C.
Kesimpulan
Dari uraian diatas penulis menarik beberapa
kesimpulan, melamui analisa yang sesuai dengan cakrawala pemikiran penulis
sebagi berikut:
a. Setelah
nabi Muhammad pemerintahan diteruskan Khulafah Ar-Rasyidin islam Islam terus
ekspansi deiberbagai belahan dunia, dan bahkan diseluruh penjuru dunia yang
berakhir diteruskan oleh berbagai dinasti-diasti.
b. Perang
siffin yang terjadi antara Ali dan Muaiyah menyebabkan timbulnya faham golongan
khawarij yang awalnya merupakan persoalan politik, tetap lambat laun berkembang
menjadi kajian dan persoalan teologi.
c. Sebagai
faham yang hadir pertama di masyarakat Islam, Khawarij yang bersumber dari kata
kharaja atau juga disebut kharijiah.
d. Khawarij
mempunyai cirri-ciri dalam persoalan politik yang seterusnya menjadi persoalan
teologi diantara yaitu:
1. Mudah
mengkafirkan orang yang tidak segolongan walaupun orang tersebut penganut agama islam.
2. Islam
yang sebenarnya adalah islam yang mereka pahami dan mengamalkan islam
sebagaimana yang dipahami, dan diamalkan islam lain tidak benar.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim, (1986), Al-Qur’an dan
Terjemahannya, Depag. RI Jakarta.
Abudin Nata, (1994), Ilmu Kalam
filsafat dan Tasauf, Jakarta:
Abu Zahra Muhammad, (tt), Al-Mazahib
Al-Islamiyah, Mesir: Maktabah adab
Abd. Mustaqim
dan Muhadi Zainuddin (2008), Studi Kepemimpinan Dalam Islam; Telaah Normatif
dan Historis, Semarang:
Putra Ledia Press
Ahmad
Syalabi, (1990), Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Husna
Amir an- Najjar,
(1986), al- Khawarij, Aqidatan, Fikratan wa Falsafatan,cet. 1, Beirut:
Alamul- Kutub, (terj, Kathur Suhardi, 1992, Aqidah, Pemikiran dan Filsafat
Khawari, Solo: CV. Pustaka Mantiq
Badri Yatim,
(2004), Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, Jakarta:
PT Raja Grafindo
Dedi
Supriyadi, (2008), Sejarah Peradaban Islam, Bandung: CV Pustaka Setia
Harun Nasution,
(2002), Teologi Islam Aliran-Aliran Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press
----- , (1995), Islam
Rasional; Gagasan dan Pemikiran, Editor Saiful Muzani. Bandung: UI Press
Ibnu Aly Bakar
Ahmad As-Syahrastani, Al Milal Wa An Nihal, Libanon Beirut: Dar el Fikr
Munawir
Syadzali, (1993), Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press
Sirojuddin
Abbas, (1996), Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah
Toshihiku izutsu, (1987), Pemikiran
Teologi dan Filsafat, Jakarta.
[1] Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN STS Jambi 2010
[2] Toshihiku Izutsu, Konsep
Kepercayaan Dalam Teologi islam Analisis Semantik Iman dan Islam. (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1994). hal: 1
[3] Harun Nasaution, Teologi
Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 2002).hal: 7
[4] Harun Nasution, Islam
rasional; Gagasan dan Pemikiran, editor saiful muzani. (Bandung: 1995). hal. 124
[5] Anonim, Al-Qur’an dan
Terjemahan, Depag. RI Jakarta.
hal. 167
[6] Munawir Syadzali, islam dan
Tata Negar; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,(Jakarta. UI Press, 1993).hal: 23
[7] Ahmad Syalabi, Sejarah
Kebudayaan Islam, (Jakrta: Pustaka Husna, 1990). hal : 304
[8] Abd. Mustaqim dan Muhadi
Zanuddin, Studi Kepemimpinan Islam; Telaah Normatif dan Historis, (Semarang: Putra Ledia
Press, 2008). hal: 71
[9] Dedy Supriyadi, Sejarah
Peradaban Islam, (Bandung:
CV. Pustaka Setia, 2008). hal: 97
[10] Badri yatim, Sejarah
Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Raja grafindo Persada, 2004).
hal: 40
[11] Asy-Syalab. At-Tarkhu
Al-Islami Wa Alhadlii atu Al Islamiyah, Ter. Prof.DR. Mukhtar Yahya
[12] Sirojuddin Abbas, Ahlussunnah
Wal Jama’ah.( Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1996). Hal: 153-154
[14] Abudin, ilmu Kalam Filsafat
dan Tasauf (Jakarta
1994).hal; 31
[15] Op cit,. Harun. 1986,
hal. 14
[16] Op cit,. Bakar, hal. 188
[17] Op cit,. Nata. hal. 33
[18] Op cit,. Harun. 1986,
hal. 16
[19] Ibid,. hal. 20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar